Monday, April 5, 2010

only human?

Mbok Kerti menangis dan meratap ketika diberitahu bahwa cucu satu-satunya, Cutti, menjadi korban mutilasi seorang psikopat. Dengan kesederhanaan pemikiran seorang tua yang beriman, Mbok Kerti mulai bertanya dan protes kepada Tuhan. Ia mulai mempertanyakan maksud dan keadilan Tuhan dibalik semua masalah kehidupan yang menimpanya. Hidup seperti tidak adil untuknya. Selain hidup bergelut dalam kemiskinan, Cutti merupakan satu-satunya keluarga yang masih dimilikinya. Suaminya meninggal ketika ia sedang hamil tua. Menantunya tewas ketika bekerja di negeri orang, anaknya pun dipanggil pulang oleh yang Maha Kuasa. Seberapapun besar imannya, toh Mbok Kerti masih manusia biasa yang punya perasaan. Manusia biasa yang bisa merasa sedih, marah, kecewa.

"Ternyata Mbok Kerti tak lebih dari seorang hipokrit. Munafik!" Gareng berkata tanpa tedeng aling-aling.

"Dimana Mbok Kerti yang tegar, sabar, dan bisa jadi inspirasi buat orang lain? ternyata ketika punya masalah, Mbok Kerti sama aja seperti orang lain yang bisanya menyalahkan Tuhan". Bagong menambahkan dengan pedas.

Punakawan sebenarnya datang untuk menghibur Mbok Kerti yang baru saja kehilangan cucunya. Tapi bukan kata-kata hiburan yang diterimanya, Mbok Kerti malah mendapat kata-kata pedas dan keras.

Dengan emosi, Mbok Kerti bilang, "Saya kan juga manusia biasa!"


Itulah cuplikan drama di acara paskah gereja saya kemarin. Drama dan khotbah paskah yang sukses membuat saya berpikir,

Benarkah alasan 'im only human' boleh dipakai untuk mentolerir rasa marah dan kekecewaan kita terhadap Tuhan?

Ketika seseorang merasa kecewa dan marah terhadap Tuhan, dalam pelayanan, dalam hidup, apa yang harus dilakukan? Membiarkan rasa itu ada dan sembuh dengan sendirinya, atau menekan rasa itu dan bersikap keras terhadap diri sendiri; dengan alasan kita 'cuma' hamba-Nya, yang bahkan ga punya hak apa-apa. Tuhan sudah memberi terlalu banyak, dan kita bahkan GA BERHAK untuk mengeluh.

Seems like unfair, ketika manusia diberi kemampuan untuk merasakan dan mempunyai perasaan, tetapi tidak boleh merasa kesal dan marah kepada Tuhan. Ketika seseorang dituntut untuk menekan perasaannya yang terluka karena kelakuan rekan sepelayanannya, dengan alasan "itu yang namanya pelayanan. kita kan cuma PELAYAN, namanya hamba ga punya hak buat protes. Tuhan aja mau ngampunin dosa kita yang segitu banyaknya, masa kita ga mau ngampunin kelakuan temen kita yang cuma segitu doank? Jangan balas kejahatan dengan kejahatan. kalo ribut cuma gara-gara hal sepele gitu, apa bedanya gereja sama perusahaan?"

Ketika pelayanan itu menjadi berat, dan rasanya ingin mengeluarkan beban di hati dengan berkeluh kesah dan bercerita kepada orang lain, tetapi enggan karena pada akhirnya respon yang didapat hanyalah berupa nasehat untuk menguasai diri dan menekan perasaan. Nasehat untuk jangan manja, jangan terbawa perasaan, jangan terbawa situasi, dan nasehat-nasehat lain mengenai apa yang seharusnya dilakukan. Bukan penghiburan ataupun pengertian yang didapat melainkan nasehat yang keras, ataupun komentar yang tak diinginkan.

Kalau gitu untuk apa ya Tuhan memperlengkapi manusia dengan yang namanya perasaan?

Saya tau, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Tentu aja yang saya maksud di atas bukan kemarahan yang meledak-ledak ataupun emosi yang tak terkontrol terhadap Tuhan maupun sesama. Pertanyaan saya, sejauh mana manusia diijinkan merasa kecewa dan marah terhadap Tuhan maupun sesama? Atau justru rasa marah dan kecewa, terutama terhadap Tuhan, itu sama sekali tidak diperbolehkan?

Benarkah tidak pernah ada istilah 'terlalu keras pada diri sendiri', karena pada dasarnya setiap orang harus memacu dirinya untuk punya mental yang kuat, terus bangkit, dan mengembangkan dirinya?

Ketika seseorang bercerita, bukankah dia sebenarnya ingin didengarkan, bukan dikomentari ataupun diberi solusi? Solusi pemecahan masalah mungkin akan sangat berguna, tapi bukankah lebih berharga jika pertama-tama kebutuhan untuk didengar dan dimengerti telah terpenuhi? Tapi seringkali respon orang-orang adalah sibuk memberi komentar, saran, nasehat tanpa benar-benar mendengarkan apa yang menjadi kebutuhan dan permasalahannya. Padahal, seringkali seseorang sudah tau dengan persis apa yang harus dilakukannya, dia hanya butuh didengarkan, dimengerti, dan dihibur, tanpa perlu dikomentari atau dinasihati.

Ketika kita terus berkomentar dan menasehati orang lain, ketika kita terus berkata apa yang seharusnya seseorang lakukan, apalagi ketika kita terus berkata, "Kamu harus kuat. Kamu harus bangkit, ga boleh lama-lama mellow kaya sekarang. Kamu tuh harus do something" bukankah sama saja kita bersikap keras terhadap orang itu dan "ga menyetujui" perasaannya, apapun itu?


I've been there before. I have been upset and received even more upsetting responses from whom i talked to. But i also have been the one who told someone to do this and that, without really listening to him/her. I really understand the feeling. And I have been thinking about this thing for a long time.


Sebagai manusia, saya masih merasakan kekecewaan, kemarahan, dan kesedihan. Berulang-ulang malah. Dan saya nggak yakin saya akan tetap bisa tenang dan bersyukur kalau saya ada di posisi Mbok Kerti. Saya nggak tau gimana sikap dan emosi saya ketika cobaan hidup terasa terlalu berat buat saya. Saya nggak tau apakah iman saya akan cukup kuat untuk bisa tetap tenang dan tetap bersyukur.

Terkadang saya terlalu lelah, terlalu marah, terlalu kecewa, bahkan untuk berpikir bahwa Tuhan itu baik, bahwa ada hal positif dibalik semua permasalahan di depan mata. Terkadang saya bahkan nggak mau mendengar ketika orang lain bilang sama saya untuk sabar, untuk tetap bersyukur, untuk tetap tenang. You just dont know how my feeling was.

Terkadang, dalam kekecewaan yang terlalu dalam, bahkan tidak ada respon apapun yang terasa tepat, bahkan dari orang terdekat sekalipun. Semua terasa salah. Dan menyebalkan. (yeah, sangat egois, i know)

Tapi pengalaman-pengalaman itu toh pada akhirnya mengajarkan banyak hal kepada saya. Setelah emosi-emosi sesaat itu mereda, setelah semua masalah berlalu (kadang dengan cara yang ajaib), In the end, i still know that He is God and He is good. Still i have been blessed with too much good things happenned in my life. And it left me with nothing but shame. Malu karena udah marah-marah sama Tuhan. Malu karena udah bersikap manja dan ga tau diri.

Yah, memang ketika kemarahan dan kekecewaan datang, lebih mudah untuk marah sama Tuhan daripada mengingat kebaikanNya. But, i guess, itu bagian dari belajar untuk hidup dalam Tuhan. Jatuh bangun berulang kali, untuk belajar jadi orang yang lebih baik, pada akhirnya.


Yang saya percaya, Tuhan itu Tuhan yang liberal. Dia menciptakan manusia dengan peraaan, dan Dia ga keberatan kalo manusia merasa marah dan kecewa kepada-Nya. Dalam batas tertentu tentu saja. (Batas inilah yang saya belom ngerti).

Yang saya percaya, Tuhan mengijinkan kita punya unek-unek yang disampaikan langsung kepadaNya, malah Dia senang kalau kita mencurahkan isi hati kita kepadaNya, termasuk kekecewaan dan kemarahan kita. Sepahit dan sebesar apapun kekecewaan dan kemarahan itu.

Yang saya percaya, Tuhan datang ke dunia dan menjadi manusia untuk benar-benar bisa merasakan perasaan manusia, termasuk kesulitan dan pergumulan hidup manusia. Jadi, Dia mengerti apapun kesulitan kita, He has been there before, and He knows exactly how it's feel like to be us, to be human.


Yang saya percaya, -walaupun klise dan ga gampang ketika harus benar-benar ngejalaninnya-, everything happens for reasons. Dan Dia ga bakal memberikan sesuatu yang lebih berat daripada yang bisa kita hadapi. Terkadang, Tuhan mengijinkan kita mengalami hal yang berat supaya nantinya, -ketika kita sudah berhasil melewatinya-, kita bisa menguatkan orang lain dan menjadi berkat buat mereka.


Well, for now, all i can say is, that's life. Menyebalkan kadang, tapi mau bilang apa? Pilihan di tangan kita seperti apa kita mau melihat hidup :)

Kalau kata bokap saya sih, hidup itu dibilang berat ya ga berat-berat amat, tapi dibilang enteng ya ga juga. I think he's right somehow. Life is not that hard, because we have our Almighty God. but life isnt easy either, because we still have to do our part.

2 comments:

Vanya Alessandra said...

anyway, we should be grateful for miseries, because miseries makes us remember that we're still human. :)

Nirmala said...

hehe...yg dijadiin tempat curhat juga only human de, jadi suka salah menempatkan diri, ga ngerti kapan harus diam dan kapan harus komentar :)
btw, kalo mau marah sama Tuhan, marah aja, Dia juga ngerti kok..

Post a Comment